Biarlah daku pergi
Berjalan menuju
Pangkalan …”
Entah siapa yang disebut sahabat oleh Almukarram Almarhum
Prof. H Ahmad Baqi. Bait lagu
“Tersiksa Dalam Kenangan” di atas merupakan lagu terakhir yang diciptakan maestro musik religi Sumatera Utara. Lagu itu diciptakan Ahmad Baqi, sesaat sebelum ia mengambil sajadahnya untuk shalat tahajud malam di awal Syawal tahun 1999.
Prof (HC) Datuk AHMAD BAQI lahir 17 Juli 1922 adalah putra dari Abdul Majid, Mufti Kesultanan Deli. Ahmad Baqi dikenal sebagai pemusik dan pencipta lagu-lagu Melayu berirama nasyid ala padang pasir. Sejak tahun 1940-an, setidaknya telah menciptakan bertumpuk lagu dalam partiturnya. Atikah Rahman (Istri A Wahab Dalimunthe) yang bergabung dalam orkes El-Suraya, menyanyikan lagu ‘Selimut Putih’ yang direkam kala itu dan sangat popular. Lagu tersebut merupakan arransemen langsung dari Ahmad Baqi dengan lirik Ustaz Haji Mohammad Ghazali Hasan. Tidak sedikit lagu yang masih terhafal bagi peminat irama nasyid, adalah karya cipta dari Ahmad Baqi, sebut saja lagu ‘Madah Terakhir’. “Sahabat, biarlah daku pergi, berjalan menuju Pangkalan …”, ini merupakan syair dari “Tersiksa Dalam Kenangan” yang diciptakan maestro musik religi Sumatera Utara ini. Lagu itu diciptakan Ahmad Baqi, sesaat sebelum ia mengambil sajadahnya untuk shalat tahajud malam di awal Syawal tahun 1999, menutup pengabdiannya untuk menghadap Sang Khalik tepatnya tanggal 20 Januari 1999.
Menjelang subuh di bulan Syawal kedua,
Ahmad Baqi meminta anak-anaknya untuk mengantarkannya ke tempat tidur. Di peraduan itulah
Ahmad Baqi menjumpai Sang Maha Indah. Anak-anaknya menemukan syair lagu lengkap dengan partiturnya itu, di atas meja kerja
Ahmad Baqi, di pondoknya yang terletak di belakang rumah utama di jalan Garu I Medan itu.
“Sepertinya ayah sudah tahu kalau ia akan berpulang,” kata
Ahmad Syauqi Ahmad Baqi, anaknya yang keenam.
Lagu itu menceritakan tentang keinginan
Ahmad Baqi yang masih terpendam dan belum tersalurkan sampai saat ini.
“Yang bisa saya interpretasikan adalah keinginan dalam bidang seni,” kata
Syauqi.
Memang,
Ahmad Baqi lebih dihargai di negeri orang daripada negeri sendiri.
Ahmad Baqi mendapat gelar Profesor Honoris Causa di bidang musik dari Pemerintah Malaysia tahun 1978. Gelar itu diberikan Datuk Asri, Menteri Besar Malaysia, setelah lagu
“Selimut Putih”, yang bercerita tentang kematian dan membuat merinding seantero pelosok ranah Melayu, pertama kali dikeluarkan tahun 1977. Delapan belas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1995, pemerintah Malaysia memberinya gelar Datuk yang diberi oleh Menteri Besar Sabah. Dua tahun sebelum wafat, ia diberi gelar ASDK (Ahli Setia Darjah Kota Kinabalu) oleh kerajaan Sabah Malaysia (1997). Kali itu,
Ahmad Baqi yang lahir pada 17 Juli 1922, sudah berumur 75 tahun.
Di Brunei,
Ahmad Baqi ditawari untuk tinggal di sana. Fasilitas apa pun akan diberikan pemerintah Brunei bila
Ahmad Baqi mau menularkan ilmu dan berkreasi di negeri kaya minyak itu. Tawaran itu ditampik
Ahmad Baqi dengan halus kepada Awang Haji Tua, seorang pengurus Kerajaan Brunei yang datang kepadanya pada 1982.
Ahmad Baqi sendiri datang ke Brunei ketika Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah sedang berulang tahun yang ke-37.
“Lebih baik hujan batu di negeri daripada hujan emas di negeri orang,” kata
Ahmad Baqi waktu itu. Tidak ada satupun yang bisa mengukur kadar nasionalisme yang dimiliki
Ahmad Baqi.
Maestro musik padang pasir dunia asal Mesir, Ummi Kaltsum pun mengetahui sosok
Ahmad Baqi. Pesuling itu juga meminta
Ahmad Baqi untuk mengajar musik padang pasir dan pindah ke Malaysia.
Ahmad Baqi menolak mandah. Tapi Mesir tetap memperhatikan
Ahmad Baqi. Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, memberinya hadiah berupa Ganun, alat musik petik khas Mesir yang mempunyai 78 senar. Ganun itu diserahkan di kampus Universitas Islam Sumatera Utara. Ganun itu dikuasai
Ahmad Baqi hanya dalam waktu setahun. Itu di samping keahliannya memainkan dengan fasih alat musik lain seperti biola, gambus, dan akordion.
Seribu Lagu
Ahmad Baqi sendiri dikatakan anaknya mengaku mempunyai patron dan akar musik padang pasir dari Mesir. Akar Mesir rupanya tidak mudah untuk dicerna oleh personil musik Ahmad Baqi sendiri. Zubeiruddin, pemain keyobard Ahmad Baqi, mengaku masih susah untuk membawakan lagu “Al Wathan (Negeri)”. “Musiknya asli diambil dari Mesir,” kata Zubeir.
Lagu-lagu
Ahmad Baqi memang kental dengan unsur religi, terutama ruh Islam. Simaklah lirik “Selimut Putih” yang fenomenal itu,
Tapi, kontemplasi yang dilakukannya bukan hanya dari segi pemahaman terhadap kandungan Islam. Optimisme disertai pengendalian diri juga digariskan dalam lagu-lagunya. Dengarlah dalam lagu “Cita-cita” yang dipopulerkan Hasmidar (Asmidar, red) Darwis tahun 1970.
Untuk soal nada,
Ahmad Baqi sendiri dipengaruhi kuat oleh nada-nada lagu Al-Quran yang disebut qiraat. Lagu-lagu itu seperti Bayati, Tsiqah, Raas, Nahwan, Hijaj, Husaini, dan Zakarha.
“Memang syarat utamanya kita mesti menguasai nada-nada lagu Alquran,” kata
Sasmidar Effendi, vokalis El Surayya, yang hampir 30 tahun setia mengikuti orkes Ahmad Baqi.
Ahmad Baqi merupakan seniman sejati. Untuk total di musik, ia mengambil pensiun dini dari jabatan Kepala Perbekalan PLN tahun 1975. Ia kemudian menceburkan diri di pondok musik yang sudah didirikannya sejak tahun 1970. Dua tahun sebelumnya, 1968, ia merangkum banyak grup-grup musik dan orkes melayu Padang Pasir di Medan, seperti Al Wardah, Al Wathan, En Nasiim, Syauthun Niil, dan lain-lain, dalam sebuah organisasi El Qawaqib.
Lebih dari itu, ia sering memendam diri dalam pondok musiknya dan tidak bisa diganggu oleh siapapun. Dari pondok itu juga
Ahmad Baqi menciptakan kurang lebih seribu lagu, yang baru 100 lagu yang sudah direkam dan diedarkan.
“Lagu-lagu itu adalah anugerah,” kata
Syauqi.
Didikan Ulama
Ia sendiri tidak dididik menjadi seorang seniman. Ayahnya, Abdul Majid, seorang guru agama Kesultanan Deli, mengarahkannya menjadi seorang ulama. Abdul Majid seorang ulama yang tegas. Ia tidak memperkenankan
Ahmad Baqi menjadi pemusik.
“Kalau Atok menemukan biola ayah, pasti dihancurkan,” kata
Ahmad Syauqi. Entah sudah berapa biola yang telah dihancurkan ayah Ahmad Baqi. Selain alat musik, pantalon (celana panjang) yang sering dikenakan
Ahmad Baqi pun tidak diperkenankan oleh Abdul Majid.
“Supaya tidak ketahuan, ayah sering main biola dulu jauh ke kebun,” kata
Syauqi.
Tapi, didikan ulama itu justru membekas di syair-syair dan aliran musik yang dipilih
Ahmad Baqi. Suatu hari ia berkonsultasi dengan seorang temannya, seorang ulama dan qari besar dari Sumut, H Azra’i Abdurrauf (Alm.).
“Bagus juga kalau engkau ke sana (musik). Ada lagu-lagu yang bernafaskan Islam,” kata Azra’i kepadanya. Tak heran, bila pertemanannya dengan Azra’i ditambah ilmu dari ayahnya membuatnya fasih untuk menguasai qiraat Al-quran. Menurut Syauqi, kadang-kadang H Azra’i datang ke pondok Ahmad Baqi pada tengah-tengah malam. Mungkin, salah satu makna kata “sahabat” dalam goresan terakhirnya yang dikutip di awal tulisan ini, diperuntukkan bagi Azra’i.
Ironisnya, cuma satu penghargaan yang diterima
Ahmad Baqi dari negeri sendiri. Itu pun datangnya dari mendiang H Raja Inal Siregar, mantan gubernur Sumut. Gubernur yang dikenal agamis itu, memberinya penghargaan Pembina Seni dan Budaya Sumatera Utara sebagai Komponis pada 5 April 1998. Setelah itu, pada tahun 2000, dilaksanakan Malam Kenangan
Ahmad Baqi di Hotel Garuda Plaza Medan. Konon, di malam itu pemerintah akan menyelenggarakan malam kenangan untuk
Ahmad Baqi setiap tahunnya. Tapi, ternyata tidak.
Agaknya,
Ahmad Baqi semasih hidup seperti sudah sadar tentang nasib seniman.
“Kami ini seniman, setelah dipusara baru dihargai. Kalau tidak anak aku, cucu aku yang menikmati,” kata
Syauqi mengucapkan kata-kata
Ahmad Baqi.
“Seribu Lagu Lagi”
Ya, seribu lagu. Itu lagu yang jadi, lengkap dengan partitur dan syair-syairnya. Tidak bisa dihitung berapa lagu yang sudah ditulis
Ahmad Baqi ketika mulai mencipta lagu di sekitar tahun 1940-an.
“Lagunya panjang-panjang, bisa 15 menit satu lagu,” kata
Ahmad Syauqi, anak
Ahmad Baqi yang menyimpan harta warisan Ahmad Baqi itu.
Bagi lidah pop dan dangdut, umumnya lagu-lagu
Ahmad Baqi tidak gampang untuk dibawakan.
“Cengkok atau dalam bahasa kita, greneknya, susah diikuti,” kata
Syauqi lagi.
Syarat pertamanya, adalah menguasai “hawa”. Ini istilah yang diberikan
Ahmad Baqi menunjuk pada nada-nada lagu Alquran yang lazim disebut qiraat.
“Biasanya seminggu sekali mendiang mendapat lagu baru, kita disuruh ke rumah dan langsung belagu,” kata
Sasmidar Effendi, salah satu vokalis yang sudah 30 tahun di orkes Ahmad Baqi.
Menurut
Sasmidar, dalam berlatih lagu, Ahmad Baqi merupakan orang yang keras.
“Tidak bisa main-main. Kalau tidak pas, kupingku sakit, katanya,” tutur Sasmidar lagi. Tapi, kalau sudah menguasai “hawa” itu, biasanya lagu-lagu
Ahmad Baqi mudah dipahami.
“Biasanya satu hari sudah dapat,” kata Mahanum, seorang vokalis orkes
Ahmad Baqi juga.
“Hawa” ini berbeda dengan lagu-lagu dangdut maupun nasyid zaman sekarang.
“Kalau seperti Raihan, itu cenderung ke pop,” kata Mahanum sambil mencontohkan dendang lagu Raihan dan
Ahmad Baqi.
Riwayat merekam lagu-lagu
Ahmad Baqi sudah lama. Dimulai ketika akhir dekade 1960-an, lagu
“Selimut Putih” direkam di atas piringan hitam di Malaysia, dan mulai diperdengarkan di Indonesia melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Lagu itu langsung meledak, terutama di daerah ranah Melayu, seperti Malaysia dan Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur).
Lagu itu keluaran formasi pertama dari Orkes Ahmad Baqi. Pelantunnya langsung terkenal, seperti Nur Asiyah Jamil, M Nuh, dan M Thahir. Di tahun 1970-an, formasi Ahmad Baqi sudah berubah yang berisi nama-nama Asmidar Darwis, Atikah Rahman, M Thahir, dan Ruqiah Zein. Di formasi ini, melejit lagu seperti “Cita-cita”. Formasi ini cepat berkurang. Kebanyakan, personilnya dilirik orang ketika sedang manggung. Seperti Ruqiah Zein yang mendapat jodoh ketika manggung di Malaysia dan Atika Rahman yang dipinang oleh Ketua DPRD Sumut sekarang, H Abdul Wahab Dalimunthe. Asmidar Darwis pun tak luput dipinang orang.
Formasi terakhir berisi 14 personil, yaitu Sasmidar Effendi (vokal/biola), Khadijah Lubis (vokal/tamburin), Mahanum (vokal/biola), Wahyuni (vokal/biola), Zuberuddin (keyboard), Syahril Sa’I (drum), Ramli (Bass), Ahmad Ramadhan (gendang bonggo), Efan Edi (gitar), Ahmad Fauzi (tamburin), Ruslan Nasution (biola), Hj Faiziah Hanim (biola), Ahmad Syauqi, dan seorang vokalis muda Ifnifar Hasni.
Selain mereka, entah siapa lagi penerus seribu lagu
Ahmad Baqi.
* * *
Tulisan ini dibuat pada Desember 2005 lalu.
Dikutip seluruhnya dari:
http://nirwansyahputra.wordpress.com/2008/02/17/seribu-lagu-ahmad-baqi
Kami mohon ma'af kepada yang empunya tulisan karena rasa cinta yang besar kami kepada Almukarram (Ayahanda) Prof. H. Ahmad Baqi ---ALLAHUMMAGH FIRLAHU WARHAMHU---, beberapa koreksi terpaksa kami lakukan terutama pada nama Asmidar Darwis dan Nur Asiah Djamil.
YA ALLAH DARI LUBUK HATI INI YANG PALING DALAM, TERHANTAR SEBAIT DO'A KEPADA ORANG TUA KAMI YANG TELAH BERJASA IKUT MENDAKWAHKAN AGAMA-MU "TEMPATKANLAH BELIAU DI SISI-MU, BERILAH SULUH DI KUBURNYA, DAN AMPUNAN DARI MU SANGAT KAMI DAMBAKAN"
Amin Ya Rabbal 'Alamin